Penjajakan, atau yang masih sering
disalahartikan sebagai “ta’aruf”. Sayangnya, banyak yang keliru dalam
mengartikan istilah ini. Sebuah aturan yang suci seringkali diselewengkan
dengan mencari celah-celah demi pemenuhan rasa penasaran.
Cinta bersujud di mihrab taat, kalimat
yang aku baca dari sebuah buku. Singkat, padat, namun bemakna dalam.
Penjabaran dalam buku tersebut dirangkai
dalam bentuk cerita yang dikutip oleh Syaikh’ Abdullah’ Nashih, sebagai
berikut:
Ada seorang gadis cantik, seperti sebuah bunga
yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak
banyak yang pernah melihat wajahnya, mendengar
suaranya, atau bahkan yang pernah berurusan dengannya. Kecantikannya
begitu terjaga seolah-olah seperti seorang bidadari di taman surga. Dia
memendam cinta yang
tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang
belum pernah dia temui sama sekali. Mengenalnya hanya dari cerita yang dia
dengar, bahwa pemuda ini tampan, berakhlak suci, berilmu tinggi, dan sholeh.
Nama pemuda ini kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang
menginginkan menantu.
Hingga suatu hari, pemuda tersebut berkunjung
ke kotanya untuk suatu urusan. Si gadis lalu menulis surat memohon untuk
bertemu. Dan jawabannya adalah “Ya”.
Mereka bertemu di suatu tempat yang telah
disepakati, hanya berdua saja. Pada awalnya keduanya terdiam, sibuk dengan
perasaan masing-masing yang berkecamuk di dalam hati. Si gadis berkeringat
dingin, pemuda ini jauh lebih dari yang dia bayangkan: kesantunannya,
kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Karena dalam keluarganya dia terbiasa
berani berbicara, maka dia yang memulai:
“Maha Suci ALLAH”, katanya sambil memandang
sekilas, “Yang telah menganugerahimu dengan wajah yang begitu tampan”.
Sang pemuda menjawabnya sambil tersenyum dan
menundukkan wajah, “Andai kau lihat aku sesudah tiga hari dikuburkan, ketika
cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata, ketika
hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah itu begitu sementara, jangan
tertipu olehnya”.
“Betapa inginnya aku meletakkan jemariku dalam
genggaman tanganmu”, lanjut si gadis.
Sang pemuda berkeringat dingin, lalu menjawab
sambil tetap menunduk, memejamkan mata, “Aku juga ingin berbuat lebih dari itu,
tapi coba bayangkan kulit kita adalah api neraka bagi yang satu dan yang
lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan
menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan”.
Si gadis ikut tertunduk, “tapi tahukah kamu,
telah lama aku dilanda rindu, takut dan sedih. Telah lama aku ingin meletakkan
kepalaku di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban-beban, agar Allah
menghapus kesempitan dan kesusahan”.
“Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”,
kata si pemuda, “sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan
menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertakwa”.
Kisah tersebut dihentikan pada titik ini.
Syaikh’ Abdullah Nashih’ Ulwan bertanya, “Apa yang kita pelajari dari kisah
ini?”.
Sebuah kisah yang indah. Si pemuda tampak
demikian fasih membimbing si gadis menghayati kesucian dan ketakwaan kepada
ALLAH.
“Tapi”, kata beliau memberi catatan. “Dalam
kisah indah ini kita tanpa sadar melupakan satu hal. Bahwa sang pemuda
mencampuradukkan kebenaran dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas dakwah
dalam atmosfer yang ternoda. Dan dampaknya bisa kita lihat dalam kisah, sang gadis
sama sekali tidak mengindahkan dakwahnya. Bahkan ia menjadi makin berani dalam
kata-kata, mengajukan permintaan-permintaan yang makin meninggi tingkat
bahayanya dalam pandangan syari’at ALLAH”.
Terlihat jelas, sang gadis mula-mula hanya
mengagumi, lalu membayangkan tangan bergandengan, jemarinya menyatu bertautan,
kemudian membayangkan berada dalam pelukan. Bagaimana jika percakapan ini
diteruskan tanpa batas waktu?
“Kesalahan itu”, lanjutnya, “Telah terjadi
sejak awal, mereka berkhalwat! Mereka tidak mengindahkan peringatan syari’at
dan pesan Sang Nabi tentang hal yang satu ini”.
Mereka berkhalwat, bersepi berduaan. Itu letak
kesalahan yang telah terjadi dari awal. Kandungan pesan dari sang pemuda memang
terkesan indah, tapi entah dalam sadar atau tidaknya, dia juga membuka pintu
pelanggaran syari’at.
Back to real life…
Sering kita temui, pola pendekatan ala pacaran
yang dianggap sebagai ta’aruf. Ilmu agama yang memadai, kadang belum mampu
mendorong seseorang menerapkannya dalam wujud akhlaq.
Aku juga bukan seorang suci yang tidak pernah
khilaf. Dulu sebelum aku tahu, aku anggap pola penjajakan seperti itu sebagai
bagian dari ta’aruf, selama tidak menyatakan diri “berpacaran”. tapi
alhamdulillah sejauh ini aku ga pernah yang namanya pacaran...alergi hehehehe
tapi aku bangga ga pernah pacaran...ehem..ehem...mungkin begitulah cara ALLAH
melindungi ku, dengan memberiku sedikit sikap "cuek" dengan lawan
jenis, dan lebih fokus belajar, makanya masa2 ABG yang kata orang rentan malah
aku jalani dengan santai dan lurus2 aja ceileeeh heheheeh alhamdulillah ^_^
Seiring dengan berjalannya waktu, seiring
dengan bertambahnya ilmu yang kupelajari, hatiku merunduk, merasa ada sesak
yang aku terjemahkan sebagai sinyal dari dosa. Rasa cinta kepada manusia, akan
jauh lebih bermanfaat jika hanya diterapkan kepada seseorang yang halal.
Ta’aruf hanya diperuntukkan bagi orang-orang
yang berani melangkah jauh ke depan, dengan modal percaya dan yakin
Lillahi ta’ala.
“The power of thinking without thinking” –
Malcolm Gladwell
Berpikir tanpa berpikir, karena mengetahui
lebih banyak daripada orang lain belum tentu menjamin bahwa informasi tersebut
bermanfaat.
Mungkin pola komunikasi yang dilakukan oleh
ikhwan di awal cerita, dimaksudkan untuk sebanyak mungkin menggali informasi
tentang sahabatku. Hanya polanya yang melanggar syariat, menjadikan upayanya
terasa hambar.
Ada satu kisah yang berkaitan dengan kutipan
dari bapak Malcolm Gladwell:
Ada seorang lelaki hendak menikah. Satu hal
yang dia persyaratkan untuk calon istrinya: “memiliki tiga kelompok binaan
pengajian yang kompak padu”. Ketika mereka bertemu dalam pinangan, sang wanita
berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak”. Ini ujian ALLAH, batin si lelaki.
Bukankah dia cuma mengajukan satu syarat? Mengapa harus mundur ketika si calon
ternyata tidak bisa masak?.
“Insya ALLAH di kota ini banyak rumah makan”,
jawabnya sambil tersenyum.
“Dan saya juga tidak bisa mencuci”.
Kali ini senyumnya tertahan lebih dalam.
Kebangetan! Yup, lagi-lagi.. ini ujian. Maka dia pun menjawab, “Insya ALLAH di
kota ini banyak laundry”.
Sang lelaki mengutamakan kejujuran,
keterbukaan, yang ditunjukkan sangat jelas oleh si wanita. Dan dia mengutamakan
visi misinya yang utama dalam membangun keluarga, seorang wanita yang memiliki
tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu. Selebihnya, siapa yang mencari
tukang cuci dan tukang masak? Dia mencari calon istri.
Alhamdulillah… setelah pernikahan berjalan
beberapa waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang
istri pun mencoba memasak. Ternyata ia pandai, hanya selama ini belum pernah
mencoba. Masakannya lezat melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu juga
dengan hal-hal lain, banyak kejutan yang diterima sang suami, jauh melebihi
harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon
istrinya. Ia bersyukur, dan ALLAH pun menambahkan nikmatnya.
************************************************************************************************************
Cinta yang terdalam hanya untuk ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala, dan
berikut kepada Sang Rasul, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam.
Karena aku cinta, maka aku berusaha patuhi
ajaran-ajaran NYA.
Aku menjauh, karena aku lebih merindukan
sesuatu yang halal, ingin agar cintaku tertunduk di mihrab taat.
“…
Aku tidak tertarik siapa dirimu, atau
bagaimana kau tiba disini.
Aku ingin tahu apakah kau mau berdiri di
tengah api bersamaku dan tidak mundur teratur.
Aku tidak tertarik dimana atau dengan siapa
kau belajar.
Aku ingin tahu apakah yang menjagamu dari
dalam, saat segala hal berjatuhan..
Aku ingin tahu apakah kau bisa sendirian
bersama dirimu, dan apakah kau benar-benar menyukai temanmu di saat-saat
hampa”.
0 comments:
Post a Comment