Sunday, December 30, 2012

✿ 1,5 Jam Saja ✿


1,5 JAM SAJA..heuuuu... judulnya ngingatin Na sama judul sebuah lagu artis indonesia jaman Na jadul dulu, kalo Na ga salah judulnya "1 jam saja"....ada yang tau tak lagu siapa?
*duweeng...!! kok malah jadi maen tebak lagu gini siiih*

tapi..tapi... kali ini kita bahas tentang hidup kita, hidup Na, Hidupmu, hidup semua...
Ternyata cuma 1,5 jam saja umur kita hidup di dunia ini,
:'( ga percaya...ga percaya...?? yuuk main hitung-hitungan..!!...


Mari kita lihat berdasarkan Al Qur'an sebagai sumber kebenaran absolut.

1 hari akhirat = 1000 tahun...berarti,
24 jam akhirat = 1000 tahun.
3 jam akhirat = 125 tahun.
1,5 jam akhirat = 62,5 tahun.

Apabila umur manusia itu rata-rata 60-70 tahun, maka hidup manusia ini jika dilihat dari langit hanyalah 1,5 jam saja. Pantaslah kita selalu diingatkan masalah waktu.

Ternyata hanya satu setengah jam saja yang akan menentukan kehidupan abadi kita kelak, hendak di Syurga atau Neraka. (QS 35:15, 4:170).

Cuma satu setengah jam saja cobaan hidup, maka bersabarlah (QS 74:7,52:48,39:1­0).

Demikian juga hanya satu setengah jam saja kita harus menahan nafsu dan mengganti dgn sunnahNYA (QS 12:53, 33:38).

"Satu Setengah Jam" sebuah perjuangan yg teramat singkat dan ALLAH akan mengganti dengan syurga dan ridha ALLAH (QS 9:72, 98:8, 4:114).

Maka berjuanglah untuk mencari bekal perjalanan panjang nanti (QS 59:18, 42:20, 3:148, 28:77).

ALLAH berfirman: " Kamu tidak tinggal ( dibumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui" (QS 23:114)

✿ Imaginer do'a ✿


Doa yang kupanjatkan ketika aku masih gadis: 
"Yaa ALLAH beri aku calon suami yang baik, yang sholeh. Beri aku suami 
yang dapat kujadikan imam dalam keluargaku." 

Doa yang kupanjatkan ketika selesai menikah: 
"Yaa ALLAH beri aku anak yang sholeh dan sholehah, agar mereka dapat 
mendoakanku ketika nanti aku mati dan menjadi salah satu amalanku 
yang tidak pernah putus." 

Doa yang kupanjatkan ketika anak-anakku lahir: 
"Yaa ALLAH beri aku kesempatan menyekolahkan mereka di sekolah Islami 
yang baik meskipun mahal, beri aku rizki untuk itu ya "Yaa ALLAH...." 

Doa yang kupanjatkan ketika anak2ku sudah mulai sekolah: 
"Yaa ALLAH..... jadikan dia murid yang baik sehingga dia dapat bermoral 
Islami, agar dia bisa khatam Al Quran pada usia muda." 

Doa yang kupanjatkan ketika anak2ku sudah beranjak remaja: 
"Yaa ALLAH jadikan anakku bukan pengikut arus modernisasi yg mengkhawatirkanku. 
"Yaa ALLAH aku tidak ingin ia mengumbar auratnya, karena dia ibarat buah yang sedang ranum. " 

Doa yang kupanjatkan ketika anak2ku menjadi dewasa: 
"Yaa ALLAH entengkan jodohnya, berilah jodoh yang sholeh pada mereka, 
yang bibit, bebet, bobotnya baik dan sesuai setara dengan keluarga kami." 

Doa yang kupanjatkan ketika anakku menikah: 
"Yaa ALLAH jangan kau putuskan tali ibu & anak ini, aku takut kehilangan 
perhatiannya dan takut kehilangan dia karena dia akan ikut suaminya." 

Doa yang kupanjatkan ketika anakku akan melahirkan: 
"Yaa ALLAH mudah-mudahan cucuku lahir dengan selamat. Aku inginkan nama 
pemberianku pada cucuku, karena aku ingin memanjangkan teritoria 
wibawaku sebagai ibu dari ibunya cucuku." 

Ketika kupanjatkan doa-doa itu, aku membayangkan ALLAH tersenyum dan berkata..

"Engkau ingin suami yang baik dan sholeh sudahkah engkau sendiri baik dan sholehah? Engkau ingin suamimu jadi imam, akankah engkau jadi makmum yang baik?" 

"Engkau ingin anak yang sholehah, sudahkah itu ada padamu dan pada 
suamimu. Jangan egois begitu..masa' engkau ingin anak yang sholehah 
hanya karena engkau ingin mereka mendoakanmu..tentu mereka menjadi 
sholehah utama karenaKU, karena aturan yang mereka ikuti haruslah aturan-KU." 

"Engkau ingin menyekolahkan anakmu di sekolah Islam, karena apa? prestige?atau mode?atau engkau tidak mau direpotkan dengan mendidik Islam padanya? engkau juga harus belajar, engkau juga harus bermoral Islami, engkau juga harus membaca Al Quran dan berusaha mengkhatamkannya. " 

"Bagaimana engkau dapat menahan anakmu tidak menebarkan pesonanya dengan mengumbar aurat, kalau engkau sebagai ibunya jengah untuk menutup aurat? Sementara engkau tahu AKU wajibkan itu untuk keselamatan dan kehormatan umat-KU." 

"Engkau bicara bibit, bebet, bobot untuk calon menantumu, seolah engkau 
tidak percaya ayat 3 surat An Nuur:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik,dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min") 
dan ayat 26 surat An Nuur 
Wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula),dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)"

Percayalah kalau anakmu adalah anak yang sholihah maka yang sepadanlah yang dia akan dapatkan." 

"Engkau hanya mengandung, melahirkan dan menyusui anakmu. AKU yang 
memiliki dia saja, AKU bebaskan dia dengan kehendaknya. AKU tetap 
mencintainya, meskipun dia berpaling dari-KU, bahkan ketika dia 
melupakan-KU. AKU tetap mencintainya. " 

"Anakmu adalah amanahmu, cucumu adalah amanah dari anakmu, berilah kebebasan untuk melepaskan busur anak panahnya sendiri yang menjadi amanahnya." 

Lantas, aku malu dengan imajinasi doaku sendiri.... 
Aku malu akan tuntutanku kepada-NYA.. ..... 

Maafkan aku Yaa ALLAH..:(

Pernahkah Anda bayangkan bila pada saat kita berdoa, kita mendengar ini: 
"Terima kasih, Anda telah menghubungi Baitullah". 
Tekan 1 untuk 'meminta'. 
Tekan 2 untuk 'mengucap syukur'. 
Tekan 3 untuk 'mengeluh'. 
Tekan 4 untuk 'permintaan lainnya'." 

Atau Bagaimana jika Malaikat memohon maaf seperti ini: 
"Saat ini semua malaikat sedang membantu pelanggan lain. 
Tetaplah sabar menunggu. Panggilan Anda akan dijawab berdasarkan urutannya." 

Atau, bisakah Anda bayangkan bila pada saat berdoa, Anda mendapat 
respons seperti ini: 
"Jika Anda ingin berbicara dengan Malaikat, 
Tekan 1. Dengan Malaikat Mikail, 
Tekan 2. Dengan malaikat lainnya, 
Tekan 3. Jika Anda ingin mendengar saritilawah saat Anda menunggu, 
Tekan 4. "Untuk jawaban pertanyaan tentang hakekat surga & neraka, 
silahkan tunggu sampai Anda tiba di sini!!" 

Atau bisa juga Anda mendengar ini : 
"Komputer kami menunjukkan bahwa Anda telah satu kali menelpon hari 
ini. Silakan mencoba kembali esok hari." 

atau... 
"Kantor ini ditutup pada akhir minggu. Silakan menelpon kembali hari 
Senin setelah pukul 9 pagi." 

Alhamdulillah..ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala mengasihi kita, Anda dapat menelponNYA setiap saat!!!  Anda hanya perlu untuk memanggil-NYA kapan saja dan DIA mendengar Anda. Karena bila memanggil ALLAH, Anda tidak akan pernah mendapat nada sibuk. ALLAH menerima setiap panggilan dan mengetahui siapa pemanggilnya secara pribadi. 

Ketika Anda memanggil-NYA, gunakan nomor utama ini: 24434 
2 : shalat Subuh 
4 : shalat Zuhur 
4 : shalat Ashar 
3 : shalat Maghrib 
4 : shalat Isya 

Atau untuk lebih lengkapnya dan lebih banyak kemashlahatannya, gunakan 
nomor ini : 28443483 
2 : shalat Subuh 
8 : Shalat Dhuha 
4 : shalat Zuhur 
4 : shalat Ashar 
3 : shalat Maghrib 
4 : shalat Isya 
8 : Shalat Lail (tahajjud atau lainnya) 
3 : Shalat Witir 

Info selengkapnya ada di Buku Telepon berjudul "Al Qur'anul Karim & Hadist Rasul

Langsung hubungi, tanpa Operator tanpa Perantara, tanpa dipungut biaya. 
Nomor 24434 dan 28443483 ini memiliki jumlah saluran hunting yang tak 
terbatas dan seluruhnya buka 24 jam sehari 7 hari seminggu 365 hari setahun !!! 

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam : 
"Barang siapa hafal tujuh kalimat, ia terpandang mulia di sisi ALLAH 
dan Malaikat serta diampuni dosa-dosanya walau sebanyak buih laut" 

7 Kalimah ALLAH: 
1. Mengucap "Bismillah" pada tiap-tiap hendak melakukan sesuatu. 
2. Mengucap " Alhamdulillah" pada tiap-tiap selesai melakukan sesuatu. 
3. Mengucap "Astaghfirullah" jika lidah terselip perkataan yang tidak patut. 
4. Mengucap " Insya-ALLAH" jika merencanakan berbuat sesuatu di hari esok. 
5. Mengucap "Laa haula walaa Quwwata illa billah" jika menghadapi 
sesuatu tak disukai dan tak diingini. 
6. Mengucap "inna lillahi wa inna ilaihi rajiun" jika menghadapi dan menerima musibah. 
7. Mengucap "La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah " sepanjang siang 
dan malam sehingga tak terpisah dari lidahnya. 

Dari tafsir Hanafi, 
Mudah-mudahan ingat, walau lambat-lambat..
Mudah-mudahan selalu, walau sambil lalu..
Mudah-mudahan jadi bisa,karena sudah biasa. 

Wassalaamu'alaikum...

Source : Ratih Sanggarwati


Saturday, December 29, 2012

✿ Kesalahan Dalam Membaca Ta’awwudz ✿


Bismillah
Kesalahan Dalam Membaca Ta’awwudz
Keterangan

1. K: Kesalahan Kecil

2. B: Kesalahan Besar

أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّ جِيْمِ

A. أَعُوْذُ

1. Menebalkan hamzah: o’uudzu (K)

2. Memanjangkan hamzah: aa’uudzu (B)

3. Membaca imalah sughro pada hamzah: e’uudzu (K)

4. Mengganti ‘ain dengan hamzah: auudzu (B)

5. Mengucapkan ‘ain seperti orang jawa: anguudzu (K)

6. Tidak mendlommahkan ‘ain dengan benar: a’oodzu (K)

7. Memanjangkan ‘ain lebih dari dua harokat: a’uuudzu (K)

8. Mengganti dzal dengan dal: a’uudu (B)

9 Mengganti dzal dengan dzo’: a’uudzu (B)

B. بِاللَّهِ

1. Membaca ba’ dengan imalah kubro: bellahi (K)

2. Menghilangkan tasydid lam: bilaahi (B)

3. Menebalkan lam: billaahi (K)

4. Terlalu membuka mulut pada lam: billoohi (K)

5. Membaca lam lebih dari 2 harokat: billaaahi (K)

6. Mengganti هـdengan ح: billaahi (B)

7. Memanjangkan Ha’: Billaahii (B)

8. Menghilangkan Ha’ : Billaa (B)

C. مِنَ الشَّيْطٰنِ

1. membaca mim dengan imalah kubro: mena (K)

2. Menebalkan nun: mino (K)

3. Meninggalkan tasydid syin: Mina syaithoon (B)

4. Mengganti syin dengan sin: minassaithoon (B)

5. Mengganti ya’ dengan imalah kubro: minasysyaethoon (K)

6. Mengganti tho’ dengan ta’: minasysyaitaan (B)

7. Membaca tho’ lebih dari 2 harokat: minasysyaithoooon (K)

8. Membaca nun dengan imalah kubro: minasysyaithoone (K)

9. Memanjangkan nun: minasysyaithoonii (B)

10. Mengganti nun kasroh dengan dlommah: minasysyaithoonu (B)

D. الرَّ جِيْمِ

1. Menipiskan ro’: arrajiim (K)

2. Memanjangkan ro’: arroojiim (B)

3. Tidak membaca ro’ dengan sempurna: aurojim (K)

4. Mengganti jim dengan gim: arrogiim (B)

5. Membaca jim seperti orang jawa. (K)

6. membaca jim dengan imalah kubro: orrojeem (K)

7. membaca kurang dari 2 harokat: arrojim (B)

8. Membaca jim lebih dari 6 harokat: arrojiiiiiiiim (K)

9. Mengganti mim dengan nun: arrojiin (B)

10. Mengucapkan qolqolah pada mim: arrojiime (K)

Friday, December 28, 2012

✿ (ngerasa) Yang Paling Penting ✿

Lucuuu tapi tepat sasaran hehehehe...
silahkan di simak yaah..Na copy dari Kompasiana
semoga bermanfaat.. ^_^

Cerita punya cerita sedang berlangsung pelatihan Resusitasi Pijat Jantung (RPJ) atau Cardiopulmonary Resucitation (CPR). Otak, jantung dan lubang dubur bertindak sebagai instruktur pelatihan. Sedangkan pesertanya sisa organ tubuh lainnya. Sebagai instruktur mereka diberi kesempatan untuk menyampaikan materi pelatihan di depan para peserta.


Otak:

“Saudara- saudara sekalian akulah satu-satunya organ yang paling berguna dalam tubuh manusia. Akulah yang mengendalikan semua pikiran dan gerakan tubuh manusia. Manusia – manusia yang berbuat tidak sesuai dengan norma dan budaya masyarakat akan dijuluki manusia tanpa aku. Padahal aku selalu ada di dalam kepala mereka.
Saudara-saudara, jika aku kekurangan oksigen selama 6 menit saja maka aku akan mati sekian persen. Jika batang otakku mati maka organ tubuh yang lain tidak bisa berfungsi. Itulah mengapa kalian dikirim di sini untuk belajar CPR supaya bisa menyelamatkan aku dari kekurangan oksigen”.


Jantung:

“Saudara-saudara, apa yang dikatakan otak adalah betul. Tetapi siapakah yang menyuplai oksigen ke dalam otak? siapakah yang memompa darah dan menyuplai makanan ke seluruh tubuh manusia?. Jika aku berhenti berdetak maka saat itulah kematian menjemput.
Saudara-saudara, kalian dikirim ke sini adalah untuk menyelamatkan aku. Mengembalikan aku kembali berdetak hingga aku bisa bertugas seperti sedia kala. Maka saat itu kehidupan bisa dipertahankan.
Oh.. ya, pernahkah anda mendengar otak kota? Yang sering anda dengar adalah jantung kota. Bahkan untuk menyebut kekasih manusia menggunakan kata si jantung hati. Sedangkan otak sering diidentikkan dengan tindakan kriminal seperti otak kasus pembunuhan, otak kasus mark up, otak perampokan, otak pencucian uang, otak korupsi, dsb.
Dari situ bisa anda simpulkan sendiri siapa yang lebih baik di antara kami”.

Giliran Lubang Dubur maju ke depan peserta untuk menyampaikan makalah. Otak, jantung dan semua peserta menertawakan organ yang satu ini. Suara gaduh dan cekikikan memenuhi seluruh ruangan. Ada yang sampai terpingkal-pingkal.

Lubang Dubur:
“Baiklah kalau kehadiran saya tidak dianggap penting saya akan meninggalkan forum yang terhormat ini”

Di hari- hari berikutnya lubang dubur tidak menampakkan diri. Di hari pertama seluruh peserta merasa tenang-tenang saja. Di hari kedua peserta organ perut mulai gelisah ia tampak kesakitan dan mules-mules. Ia menyalahkan mulut yang makan banyak dan terus menerus. Apalagi sajian makanan pada pelatihan sangat enak dan lezat. Di hari ketiga dan keempat terjadi kegelisahan di antara para peserta. Organ mata mulai berkunang-kunang, organ perut bertambah parah rasa mules dan mualnya. Berdiri susah dudukpun gelisah. Semua hanya mondar-mandir di depan kamar kecil. Mencoba masuk dan duduk di bilik perenungan tetapi tetap saja tidak mendengat suara plung.. plung….seperti biasanya.
Memasuki hari kelima organ otak mulai kliyeng – kliyeng. Demikian juga jantung mulai gelisah dan berdetak tidak karuan. Perut dan dada terasa sesak. Nafaspun tersengal-sengal. Semua organ lapor pada otak. Ia memanggil dokter tetapi semua diperiksa aman-aman saja. Ketika dokter menanyakan dimana lubang dubur sontak semua baru teringat.

Merasa sebagai pemimpin, otak menyelidiki apa gerangan yang sedang terjadi. Selidik punya selidik rupanya lubang dubur lagi ngambek, lagi demo dan unjuk gigi (eh….. punya gigi enggak sih). Ia enggan membuka kelebnya sebagi protes atas pernyataan otak dan jantung yang merasa super. Sok penting dan sok… sok…. yang lain.

Otak, jantung dan para peserta meminta maaf pada lubang dubur. Mereka mencabut pernyataan tempo hari di atas kertas bermaterai dan disaksikan pengacara masing-masing. Kemudian isi pernyataan permintaan maaf itu akan dimuat di media masa nasional satu halaman penuh selama tiga hari berturut-turut.
Setelah lubang dubur membuka kelebnya. Plung…. Plung…. Plung …. semua merasa plong. Otak dapat berpikir cerdas, jantung berdetak normal, mata tidak berkunang-kunang dan perut serasa nyaman. Pendek kata semua berjalan normal seperti sedia kala.

Atas rasa terima kasih mereka kepada lubang dubur maka diberilah kesempatan untuk berbicara di depan umum.

Lubang dubur:

”Saudara-saudara semua telah merasakan betapa pentingnya saya dalam menjaga kehidupan dan keseimbangan. Selama ini saya hanya dipandang sebelah mata. Belum tentu yang jelek menurut kalian tidak ada gunanya. Belum tentu yang baik menurut kalian akan selalu memberi manfaat. Maka jangan melihat sesuatu dari bentuknya yang penting fungsinya.

Manusia..Subhanallah..Sebuah kreasi indah yg belum bisa digantikan sampai sekarang. Penciptanya pun kreator yg pasti amat handal dan sempurna. Dia menyempurnakan setiap detail kecil dari bagian-bagiannya. Tidak ada satu pun bagian yang tercipta tanpa fungsi. Dari otak smpai lubang dubur sekalipun..hhe.

"(Begitulah) ciptaan ALLAH yang menciptakan segala sesuatu dengan kokoh." (An-Naml : 88)

Wednesday, December 26, 2012

♥♥ tentang "dia" ♥♥



Jika itu memang kamu, maka akan tetap kamu, dan jika bukan kamu, Aku yakin ALLAH akan menghapusmu, dan memberikan rasa yang lebih indah pada "dia" yang tepat

Jika memang ini jalannya, maka akan kucoba untuk kutelusuri sepanjang jalan itu tapi jika bukan, maka akan terlewati saja, hingga menemukan jalan lain..


akan tetap kunikmati sepenggal kisah yang kan menjelang, atau yang akan tertinggal sebagai kenangan pada satu episode..

Aku percaya..


Rahasia ALLAH itu akan selalu indah, maka biarkanlah ia tetap jadi rahasia, sampai DIA mengijinkannya untuk terbuka dan suatu saat akan ada saatnya untuk dipublikasikan..

p/s : itu bukan pict Na..tapi Na berharap suatu saat bisa menatap"nya" seperti itu.. suatu saat di tepian canda "kita" di waktu gerimis senja heuheuheu :)))

♥ IBU...♥ (✿◠ ‿ ◠)


IBU...!
Mulia cukup dengan telapak kaki perjuangan. Karena tak seorang pria pun memiliki kedudukan ini : tak seorang pria pun! Demi ALLAH, tak seorang pria pun!

IBU...!
Panggilan yang begitu menggetarkan, membiru haru, menggemakan rasa terdalam di diri setiap wanita. Selalu dan senantiasa! Ada nuansa, cita, imaji, dan gairah setiap kali kata tiga huruf plus tiga titik dan tanda seru itu diteriakkan oleh sosok-sosok mungil yang menyambut kehadirannya.

IBU...!
Ini kata tentang perempuan madrasah agung. Tempat anak-anak mempertanyakan semesta dengan bahasa paling akrab, harapan paling memuncak, dan keingintahuan paling dalam. Ini dermaga pengaduan paling luas saat mereka merasa teraniaya. Ini belai paling menenteramkan saat mereka gelisah. Dan ini dekapan paling memberi rasa aman saat mereka ketakutan. Ibu, perpustakaan paling lengkap, kelas paling nyaman, lapangan paling lapang, tak pernah ia bisa digantikan oleh gedung-gedung tak bernyawa.


IBU...!
Panggilan yang meneguhkan status kemanusiaan. Dan kehormatan. Ibumu disebut tiga kali di depan, baru ayahmu menyusul kemudian. Begitulah Rasulullah menegaskan. Ia juga panggilan yang membawa makna perjuangan. Pegalnya membawa kandungan, susahnya posisi berbaring, dan sakitnya melahirkan. Tapi juga senyum manis di saat berdarah-darah mendengar tangis sang putera pecah.



IBU...!
Mungkin memang tak sesederhana itu. Karena posisi ibu adalah anugerah, yang keimanan pun bukan jaminan ALLAH pasti mengaruniakannya pada kita. Persis sebagaimana ‘Aisyah, Hafshah, Zainab binti Jahsy, dan lainnya. Ya, tapi mereka kan ummahatul mukminin, ibu dari semua orang beriman, kata kita. Pada posisi ini, memang. Tetapi mengandung, melahirkan, menyusui, menimang adalah bagian dari saat yang dinanti bersama hakikat kata 

Ibu..! 

Itu yang juga tak dirasai oleh ‘Aisyah sekalipun.
Atau terkadang penantian panjang, kegelisahan, kecemasan, dan kata seterusnya jika panggilan itu tak segera hadir adalah ujian lain dari ALLAH. Alasan kesehatan, kerawanan melahirkan pada usia tertentu, menjadi gurita kecemasan lain yang mencoraki ujian itu. Lalu ALLAH menjawab di antara doa hambaNya, isteri Ibrahim dengan si shalih Ishaq, isteri ‘Imran dengan si suci Maryam, dan isteri Zakariyya dengan si ‘alim Yahya. Setelah penantian panjang, doa yang menghiba, dan rasa yang tersembilu...

IBU...!
Melodi paling harmoni yang menggemakan jagad dengan jihad agungnya.

(Baarakallaahu Laka, Bahagianya Merayakan Cinta, Salim A. Fillah)

Aku WANITA, dan Aku CALON IBU ..InsyaALLAH^^
Menjadi ibu, bagi kita adalah mimpi-mimpi yang dilatih dengan kerinduan, cinta, dan asahan rasa. Seruak cita itu adalah fithrah paling indah yang dikaruniakan ALLAH. Kecenderungan , rasa, kemuliaan!

(✿◠ ‿ ◠)


Pernahkah sahabat? Meski kemudian engkau tahu, bahwa rasa-rasa itu adalah sesungguhnya bukan pada sosok yang layak, dan belum dihalalkan-NYA, lalu kemudian mati-matian engkau coba lenyapkan dari segala bilik memorimu? Pernahkah?

Kemudian, pada saat yang tak terduga, saat harap-harapmu itu kian mencerah, kau dihadapkan pada sesuatu yang bagimu lebih dahsyat dari hancurnya katai putih menjadi supernova. Harapan dan asa yang kau rajut tiba-tiba saja buyar seketika..

Tiba-tiba saja mentari yang baru saja menyingsing di ufuk timur, dengan segera tenggelam seketika. Kau merasa gelap. Harapanmu itu kandas seperti bergantinya mentari dengan gelapnya sang malam tanpa rembulan. Semangatmu meredup. Harapanmu lenyap. Lalu, engkau menderita sebab langit asamu tiba-tiba saja mendung dan memuntahan hujan deras.

Ah, sahabat. Kau sedang dirundung kedukaan. Tapi, engkau tak boleh lupa satu hal, bahwa CINTAMU TAK PERNAH BERTEPUK SEBELAH TANGAN! Ya, sekali lagi, cintamu tak pernah bertepuk sebelah tangan. Sungguh, tak pernah.!!


Monday, December 24, 2012

✿ nyanyian cinta (˘ ˘З)~♬


BY :  Habiburrahman El Shirazy



Cairo memasuki musim semi. Pagi yang indah. Langit yang cerah. Orang-orang menatap hari dengan penuh gairah. Begitu juga Mahmud. Ia melangkah memasuki gerbang Universitas Al Azhar dengan semangat membuncah. Fakultas Dakwah di Nasr City demikian ia cintai. Ia bayangkan hari yang indah penuh barakah. Mata kuliah Sirah Nabawiyyah, Fiqih Dakwah, Fiqh Al Muqaranah, Qiraah Sab’ah, Syaikh Fahmi Abdullah, Syaikh Yahya Ash Shabrawi, Prof. Dr. Abdul Aziz Abdih, teman-teman yang sesemangat, seirama dan se-ghirah. Mencintai Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam seutuhnya, tekad membaktikan diri sepenuhnya pada agama ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala. Semuanya menjadi cahaya dalam dada. Menjadi mentari bagi semangatnya.

“Sebelum diangkat menjadi seorang nabi, Muhammad Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam. Telah dikenal sebagai orang yang paling menjaga amanah di seantero kota Makkah. Shingga beliau diberi gelar Al Amin. Orang yang sangat bisa dipercaya. Orang yang sangat menjaga amanah. Sifat inilah yang semestinya dimiliki setiap muslim.”

“Menjaga amanah adalah ruh agama ini. Umur yang diberikan ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala kepada kita  adalah amanah. Langkah kaki kita adalah amanah. Pandangan mata kita adalah amanah. Hidup kita adalah amanah. Menjaga amanah adalah inti ajaran agama mulia ini. Rasulullah bersabda, Laa diina liman laa amanita lahu. Tidak beragama orang yang tidak menjaga amanah!…

Hari ini ia mendapatkan penjelasan yang dalam tentang amanah, satu dari empat sifat utama Rasulullah. Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh, Guru Besar Ilmu Dakwah menguraikannya dengan bahasa yang menghidupkan jiwa. Kampus tertua di dunia ini tiada henti menempa generasi.

* * *

Pukul dua siang ia pulang. Naik bis menuju Ramsis, ia menyewa sepetak kamar di sebuah rumah tua di kawasan Ramsis. Kamar yang pernah disewa sepupunya yang kini telah menikah dan punya rumah di daerah Katamea. Tuan rumahnya sangat baik. Tak pernah menagih uang sewa kamar. Ia sendiri yang sering malu. Malu pada diri sendiri dan tentu malu pada tuan rumah.

Pernah ia tidak bisa bayar sewa rumah enam bulan. Dan pemilik rumah tak jua menagih. Kali ini, sudah empat bulan ia belum bayar. Otaknya terus berputar dari mana ia akan dapat uang. Meminta orangtua yang sudah renta sangat tidak mungkin.

Ia hanya selalu yakin bisa membayar. ALLAH Mahakaya. Sudah tiga puluh lamaran ia kirimkan ke tempat-tempat yang teriklankan di koran Ahram membuka lowongan. Namun tidak satu pun panggilan ia dapatkan, apalagi pekerjaan.

Sementara ini, untuk memenuhi kebutuhan harian, ia berjualan buku-buku, majalah dan kaset-kaset islami di depan masjid Ramsis. Ia tidak bisa menggelar dagangannya setiap waktu Sebab harus berbagi dengan jam kuliah. Boleh dikata ia punya kesempatan serius menjajakan dagangannya hanya pada hari Jumat. Ketika kuliah libur. Keuntungannya menjual buku tak seberapa.



Ketika bis sasmpai Ramsis ia turun. Seperti biasa ia langkahkan kakinya menuju masjid El Fath. Ia ingin melepas penat, sambil meunggu Ashar tiba. Ia masuk masjid. Terasa teduh. Masjid-masjid di Cairo selalu meneduhkan. Ia pilih sebuah tiang. Duduk, dan menyandarkan punggungnya, ke tiang. Tas hitamnya ia lepas. Ia letakkan di samping kanan. Kedua kakinya ia selonjorkan. Perlahan matanya memejam, namun pikirannya tetap melayang-layang. Dari mana ia akan dapatkan uang. Dari mana ia akan bayar sewa kontrakan. Yaa ALLAH, mohon berikan aku jalan.


Azan Ashar berkumandang. Ia bangkit. Harus segera turun sebelum orang mulai banyak. Ia harus buang air kecil dan ambil wudlu. Ia turun menuju kamar kecil. Benar. Orang mulai banyak.

Belasan kamar kecil tertutup. Untung masih ada satu yang terbuka. Kosong. Ia masuk. Ia tutup pintunya. Di pintu ia temukan tas hitam kumal tergantung.

“Ada yang lupa membawa barangnya.” Gumamnya.

Di mana-mana, di muka bumi ini, barang tertinggal di kamr kecil sudah jamak dan biasa. Di kamar kecil masjid Annur Abbasea ia pernah menemukan kaca mata tertinggal. Di kamar kecil masjid Sayyeda Zaenab ia pernah menemukan bungkusan plastik hitam. Ternyata isinya dua kilo ikan tuna. Dan pemiliknya ternyata seorang mahasiswa dari Indonesia yang baru saja belanja di pasar Sayyeda Zaenab. Entah kenapa ia sering menemukan barang-barang yang tertingglal di kamar kecil.

Ia ambil tas itu, lalu keluar dan berteriak ke arah orang-orang yang sedang berwudlu, “Ada yang merasa memiliki tas ini!”

Tak ada yang menjawab.

Sekali lagi ia berteriak, “Perhatian! Maaf, ada yang merasa memiliki tas ini. Aku temukan tergantung di kamar kecil nomor tiga belas.”

“Pemiliknya mungkin sudah naik ke atas.” Sahut seseorang.

“Serahkan saja pada pengurus masjid. Siapa tahu nanti pemiliknya mencari!” Sahut yang lain.

“Ya, serahkan saja pada pengurus masjid, biar nanti setelah shalat diumumkan.”

“Baik.”

Ia langsung bergegas ke tempat pengurus masjid. Menyerahkan tas itu dan ihwal penemuannya. Pengurus masjid yang berjenggot lebat itu tersenyum ramah dan berkata,

“Bukankah kau yang biasa berjulan buku di depan?”

“Benar paman.”

“Siapa namamu?”

“Mahmud. Lengkapnya Mahmud Ali El Kayyis.”

“Apa yang kau lakukan sangat tepuji. Sesuai dengan namamu. Tidak semua orang yang menemukan tas berusaha disampaikan yang berhak dan yang berwenag mengurusinya.

Aku bangga padamu. Semoga ALLAH memberkahi perbuatanmu, Anakku. Kau telah menunaikan amanah, dan insya ALLAH akan kami tunaikan amanah ini!”

Ia kembali turun untuk memenuhi hajatnya yang tertunda.

* * *

Usai shalat, pengurus masjid El Fath mengumumkan perihal ditemukannya tas hitam. Jika ada yang merasa memilikinya harap menemui imam masjid.

Ia lega mendengar pengumuman itu. Berharap apa yang dilakukannya berpahala. Apapun isi tas itu, pasti yang punya merasa akan bahagia mendapatkannya kembali. Seperti saat ia lupa buku diktatnya tertinggal di masjid kampus. Ia benar-benar lupa saat itu. Sebelum shalat ia letakkan buku diktatnya di antara lemari tempat penyimpanan mushaf. Usai shalat ia langsung cabut pulang. Malamnya saat hendak membaca ulang tidak ia dapati bukunya. Barulah ia ingat, bukunya tertinggal di masjid. Ia sangat sedih. Buku itu sangat berharga baginya. Bagi sementara orang harganya mungkin murah. Tak seberapa. Tapi bagi dirinya yang serba kekurangan, buku itu sangat mahal. Sangat berharga. Pagi harinya ia bersegera ke kampus langsung ke masjid. Dan tidak ia temui bukunya di atas lemari. Ia sempat meneteskan airmata.

“Oh siapakah yang mengambil bukuku? Untuk apa?”

Ia coba beranikan bertanya pada seorang mahasiswa yang biasa menjaga masjid. Mahasiswa itu tersenyum dan berkata “Mari ikut saya!”

Mahasiswa itu mengajaknya masuk ke ruang pengurus. Lalu mengambil sesuatu di rak. Sebuah buku.

“Inikah bukumu itu?”

“Benar.” Jawabnya dengan penuh suka cita.

“Ambilah, Saudaraku. Apapun yang berada di rumah ALLAH ini insya ALLAH aman.”
Ia sangat bahagia saat itu. Benar-benar bahagia. Ia seperti terlepas dari kesulitan besar. Saat ia memegang kembali bukunya ia merasa menjadi orang paling bahagia diatas muka bumi ini. Ia berharap pemilik tas itu juga akan merasakan hal yang sama.

* * *

Hari berikutnya ia kembali kuliah. Dengan semangat. Dan seperti biasa mampir di masjid Ramsis untuk shalat Ashar. Usai shalat, pengurus masjid mengumumkan bahwa kemarin ditemukan tas hitam itu tergantung di kamar kecil. Jika ada yang merasa memiliki boleh menghubungi imam. Ia mafhum bahwa pemilikinya belum mengembilnya. Namun ia sangat lega, dengan mendengar pengumum itu ia jadi sangat yakin bahwa orang-orang masjid sangat bisa dipercaya, sangat bisa diandalkan keamanahannya.

Usai shalat, ia bergegas ke kontrakannya. Ia ingin menggelar dagangan bukunya. Ba'da Maghrib ada pengajian Syaikh Sya’rawi. Biasanya jamaah membludak. Semoga di antara mereka ada yang berminat membeli buku dagangannya, terutama buku-buku yang ditulis Syaikh Sya’rawi yang dikenal sangat merakyat dan dalam ilmunya.

Begitu sampai kontrakan. Ia langsung mandi. Cepat sekali. Ganti pakaian. Pakai minyak wangi pemberian Rahmi, teman karibnya satu kampus yang suka jual minyak. Dua kardus besar ia letakan di kedua bahunya. Sebuah tikar plastik ia selipkan antara kardus dan kepalanya. Terasa sangat berat. Tapi inilah hidup. Inilah jihad. Dan jika sudah terbiasa jadi terasa ringan-ringan saja. Ia turuni tangga. Sebab kamarnya ada di lantai tiga. Lalu berjalan melewati lorong-lorong sempit. Menyusuri trotoar. Melewati deretan gedung perkantoran. Sampai di depan Bank Ahli ia turunkan kardusnya. Ia kelelahan.

Setelah cukup ia lanjutkan perjalanan. Menyeberang jalan. Sebuah sedan merah melaju kencang. Nyaris menyerempet kaki kanannya. Ia beristighfar sementara sopir sedan mengumpat-umpat tidak karuan. Empat menit kemudian ia sampai di tujuan. Trotoar depan masjid El Fath Ramsis. Ia turunkan pelan-pelan dua kardusnya. Ia gelar tikar. Lalu ia tata dan ia susun buku dagangannya sedemikian rupa. Demikian juga kaset-kaset dan majalah. Buku-buku Syaikh Sya’rawi ia susun semenarik mungkin di bagian paling depan. Sehingga tampak menonjol dan memikat hati yang melihatnya.

Senja mulai pekat. Langit memerah di sebelah barat. Lampu-lampu kota mulai menyala. Orang-orang mulai deras berdatangan. Hatinya riang. Sudah delapan buku yang terjual. Semuanya buku fatwanya Syaikh Sya’rawi. Keuntungan masing-masing buku tiga pound. Sebelum Maghrib ia sudah dapat dua puluh empat pound. Ia tersenyum.

“Alhamdulillah Yaa Rabb.” Pujinya pada Tuhan yang memberi rejeki.

Ia lalu berharap jika Syaikh Sya’rawi tiap hari memberi ceramah di masjid Ramsis. Atau ada seratus ulama seperti Syaikh Sya’rawi, dan semuanya menulis buku. Lalu semuanya memberikan ceramah masjid Ramsis, tempatnya menggelar dagangan. Jika tiap hari ia bisa untung dua pukuh lima pound saja, maka dalam satu bulan ia akan punya masukan paling tidak tujuh ratus lima puluhan pound.

Dan itu sangat cukup untuk membayar sewa kamar, makan, ongkos bis, dan buku. Bahkan ia bisa menargetkan kapan menikah. Ah kenapa ia tiba-tiba berpikir menikah.

“Ya Kapten, lau samah, bikam syarith dzai?”1

Suara seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia mengarahkan matanya ke asal suara. Hatinya bergetar sesaat.

Suara seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia mengarahkan matanya ke asal suara. Hatinya bergetar sesaat. Di hadapannya seorang gadis berparas elok berjilbab putih berjongkok sambil memegang sebuah kaset. Ya, kaset ceramah Syaikh Sya’rawi berjudul: Al Mar’ah Ash-Shalihah. Satu detik matanya beradu dengan mata gadis itu. Ia menangkap kecantikannya.mata yang bundar dan bening. Muka yang bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya.

Ia segera menahan matanya, mengalihkannya ke kaset yang di pegang gadis itu

“E… sab’ah junaihat.”2

“Ghali awi!”3

“La ya anisah, hadza jaded.”4

“Arba’ah mumkin?”5 Gadis itu menawar.

“Musy mumkin, afwan.”6

“Khamsah la azid.”7

“Masyi.”8

Gadis itu mengambil kaset dan memasukannya ke dalam tas, lantas mengeluarkan lima pound. Ia mengambil uang itu seraya mengucapkan, “Terima kasih, Nona.”

Setelah gadis itu berlalu ia raba hatinya. Masih ada getaran. Ia jadi berpikir, kenapa ia baru mengangankan nikah, tiba-tiba langsung ada gadis di hadapannya. Gadis yang membuat hatinya bergetar. Apakah ini tanda-tanda.

“Ah, astaghfirullah, aku tak mau dijebak setan!” cepat-cepat ia menolak pikirannya.bukankah sudah tidak terhitung gadis berjilbab yang membeli dagangannya? Di antara mereka bahkan banyak yang lebih cantik dari gadis tadi. Kenapa tiba-tiba ia harus bergetar, harus merasa sesuatu yang lain?

Saat Maghrib tiba masjid telah penuh. Ia merasa tidak perlu masuk masjid. Cukup menggelar koran dan ikut shalat jamaah di samping dagangannya. Usai shalat Syaikh Sya’rawi memberikan ceramahnya. Berkali-kali tasbih dan kalimat tauhid terdengar gemuruh dari para pendengar. Di tengah-tengah asyiknya mendengarkan ceramah. Sambil sesekali melayani pembeli tba-tiba seorang lelaki berjenggot bermuka ramah mendatanginya. Lelaki itu tak lain adalah salah satu pengurus masjid El Fath.

“Apa kabarmu Nak? Laris?”

“Alhamdulillah, saya baik. Rejeki hari ini juga baik.”

“Syukur kalau begitu. E, begini Nak….”

“Ya, Paman. Ada apa?”

“Ada yang punya perlu denganmu. Jika kau tidak keberatan. Habis shalat Isya datanglah ke kantor pengurs masjid.”

“Perlu apa ya kira-kira, Paman?”

“InsyaALLAH baik untukmu. Bisa?”

“InsyaALLAH, Paman.”

* * *

Syaikh Sya’rawi memberikan siraman penyejuk jiwa sampai Isya. Beliau juga mengimami shalat Isya. Acara ceramah beliau disiarkan langsung ke seluruh penjuru Timur Tengah oleh sebuah stasiun televisi. Usai shalat, Mahmud sibuk dengan para pembeli bukunya. Semua buku tulisan Syaikh Sya’rawi ludes. Kaset ceramah beliau tersisa tiga. Buku-buku yang lain juga banyak dibeli. Ketika masjid mulai sepi, ia mengemasi dagangannya.

“Ini sungguh hari yang penuh keberuntungan.” Katanya pada diri sendiri. Separo bukunya terjual. Ia menaksir keuntungannya hari itu kira-kira seratus empat puluh pound.

“Lumayan, bisa untuk menyelamatkan muka. Bisa untuk membayar sewa kamar dua bulan.” Gumamnya pada diri sendiri.

Setelah mengikat kardusnya ia melangkah ke masjid. Ia bawa barang dagangannya ke masjid. Ia letakkan di balik pintu masuk, lalu menuju salah satu ruang yang digunakan sebagai kantor para pengurus. Di sana ada beberapa orang yang berkumpul. Ia mengetuk pintu memberi salam. Yang ada di situ serentak menjawab salam. Sekilas ia kitarkan pandangan. Tak ada Syaikh Sya’rawi. Mungkun telah diantar pulang.

“Nak Mahmud, silakan duduk.” Lelaki berjenggot bermuka ramah mempersilakan duduk.

“Terima kasih.” Jawabnya. Ia lalu duduk di kursi yang masih kosong.

“Diakah pemuda itu?” Seorang lelaki setengah baya berwajah bersih tiba-tiba berkata sambil memandang kearah Mahmud.

“Benar, dialah orangnya.” Jawab lelaki berjenggot bermuka ramah.

Mahmud yang merasa dirinya jadi obyek pembicaraan spontan bertanya,

“Kalian membicarakan aku?”

“Iya Nak Mahmud. Seperti yang saya sampaikan bakda shalat Maghrib tadi. Ada orang yang perlu denganmu. Ceritanya begini, bapak ini adalah Tuan Ragib Ali Ridhwan Hamid Ghazali. Beliaulah pemilik tas hitam yang kautemukan. Beliau ingin berterima kasih padamu.” Lelaki berjenggot bermuka ramah menjelaskan.

“Benar Nak Mahmud. Saya sangat berterima kasih padamu. Sebagai rasa terima kasih, saya ingin memberikan sesuatu padamu. Nilainya mungkin tidak seberapa tapi semoga menjadi tanda syukur. Karena siapa yang tidak berterima kasih pada manusia dia tidak berterima kasih kepada ALLAH.” Kata lelaki setengah baya berwajah bersih bernama Ragab itu.

Mahmud belum sempat mengucapkan sepatah kata, namun Tuan Ragab telah berdiri dan mengulurkan amplop kepadanya. Dengan spontan Mahmud menolaknya seraya berkata,

“Sebentar Tuan Ragab. Kemarin itu saya hanya menunaikan amanah karena ALLAH. Itu saja.

Itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai seorang muslim. Jadi, rasanya tidak semestinya saya menerima yang berlebih. Tidak perlu berterima kasih atas sebuah kewajiban. Bersyukurlah pada ALLAH.”

“Iya. Kau benar. Tapi tolong terimalah tanda terima kasih saya padamu Nak. Terima kasih saya atas amanah yang kautunaikan.” Desak Tuan Ragab.

“Maaf, janganlah Tuan memaksa saya untuk menerima sesuatu sebagai imbalan kewajiban yang harus saya tunaikan.

Tolong, saya hanya melakukan karena ALLAH. Tolong. Saya sampaikan empati saya atas sikap tuan yang hendak berterima kasih pada saya. Saya terima ungkapan terima kasihnya. Tapi tidak untuk sesuatu yang hendak Bapak berikan pada saya. Sekali lagi jangan paksa saya!”

Tuan Ragab memandang kepada lelaki imam masjid yang hanya dengan diam saja sejak tadi. Sang imam mengisyaratkan dengan gelengan kepala dan telapak tangannya agar dia jangan memaksa.

“Baiklah aku tak bisa memaksa. Tapi apakah kau tahu isi tas hitam itu?” kata Tuan Ragab. Mahmud menggelengkan kepala seraya berkata, “saya sama sekali tidak membukanya.”

“Aku percaya kamu tidak membukanya karena isinya masih utuh semua. Untung kamu tidak membukanya, kalau kamu membukanya setan mungkun akan memperdaya kamu agar kamu tidak menunaikan amanah dengan sebenar-benarnya. Lihatlah Nak Mahmud, ini isinya.”

Tuan Ragab lalu mengeluarkan isi tas hitam. Pertama-tama koran bekas yang telah lecek. Bungkusan plastik hitam. Sebuah kantong kain berwarna hijau tua. Buku agenda. Dan sebuah pena hitam yang ujungnya kuning keemasan.

“Kelihatannya tak ada yang istimewa kan? Tapi ini adalah setengah perjalanan hidupku.” Kata Tuan Ragab. Dia lalu mengambil bungkusan plastik hitam dan mengeluarkan isinya. Dua bundel dollar Amerika.

“Jumlahnya tiga puluh ribu dollar.” Kata Tuan Ragab. Ia lalu meraih kantong hijau tua dan mengeluarkan isinya: seuntai kalung emas permata dengan bandul permata mulia berwarna merah tua yang sangat indah.

“Ini nilainya tiga ratus ribu dollar. Baru saya beli dari Madrid untuk hadiah keberhasilan putriku semata wayang menghafalkan Al-Quran.”

Tuan Ragab lalu beralih ke buku agendanya. Agendanya itu berkancing. Ia buka dan ia pegang selembar kertas seraya berkata dengan mata berkaca-kaca,

“Ini cek dari seorang kolega di Port Said. Nilainya tujuh ratus tujuh puluh lima ribu pound. Inilah isi tas hitam lusuh ini Nak Mahmud, apakah aku tidak pantas memberikan sesuatu padamu sebagai ungkapan terima kasih.”

Semua yang hadir di ruangan itu diam dan takjub. Semua baru tahu isi sebenarnya tas hitam kumal itu. Imam masjid dan pengurus masjid saat memeriksa tas itu hanya membuka agendanya.

Mencatat keterangan yang ada di biodata di halaman depan. Yang tertulis hanya nama pemilik, tanggal lahir. Tidak ada alamat dan keterangan yang lainnya.

Mereka tidak sampai memeriksa beberapa berkas yang ada di agenda itu. Juga tidak memeriksa isi kantung hijau tua dan bungkusan plastik. Begitu ada yang mengaku memiliki tas itu. Mereka mengujinya dengan menanyakan kartu identitas. Ketika nama dan data dalam kartu identitas sama dengan yang tertulis di dalam buku agenda dan bisa menyebutkan isi tas secara umum. Maka mereka percaya dialah pemiliknya. Dan memang sejak diumumkan tidak ada satu orang pun yang mengaku. Sampai datang Tuan Ragab menanyakan kepada pengurus masjid perihal tas hitam kumalnya yang tertinggal saat buang air kecil.

“ALLAH yang mengatur semua. Alhamdulillah saya bisa mengamalkan ilmu dan menunaikan amanah. Saya ingin murni karena ALLAH. Jangan paksa saya,” Kata Mahmud lirih.

“Jadi kau benar-benar tidak ingin menerima amplop ini?”

“Jangan paksa saya, saya mohon.”

“Aku sungguh bangga padamu Nak Mahmud. Baiklah aku tidak akan memaksa lagi. Namun aku tetap ingin mengungkap-kan rasa syukurku. Kepada yang hadir di ruangan ini saksikanlah aku sedekahkan cek senilai tujuh ratus tujuh puluh lima ribu pound untuk anak yatim dan fakir miskin. Pengelolaannya saya serahkan pada pengurus masjid. Pahalanya semoga terlimpahkan pada semua orang beriman yang menunaikan amanah dengan benar.”

Kata-kata Tuan Ragab membuat hati yang hadir di ruangan itu bergetar. Mahmud bersyukur dalam hati bahwa ia bisa mempertahankan prinsipnya. Di akhir pertemuan Tuan Ragab membagikan kartu namanya. Saat bersalaman dengan Mahmud beliau mencium kening anak muda itu sebagai tanda cinta dan penghormatan.

* * *

Hari berikutnya Mahmud menceritakan apa yang dialaminya dengan Tuan Ragab perihal tas hitam kumal itu pada kawannya Ramhi. Dan Ramhi menanggapinya dengan emosi,

“Emang sewa kamarmu sudah kau lunasi!?”

“Belum.” Jawab Mahmud.

“Kau sungguh bodoh! Sok suci! Sok ikhlas! Miskin tapi sok kaya! Apa sih beratnya menerima tanda terima kasih. Mungkin itu bisa jadi modal kamu usaha. Kamu itu sungguh manusia aneh. Bayar sewa kamar saja nunggak berbulan-bulan tapi sok malaikat. Sok tidak butuh uang. Dasar kolot, tolol, bahlul, primitif!

Sini berikan padaku kartu namanya biar aku cari Tuan Ragab itu dan aku ambilkan bagianmu.”

Mahmud menggelengkan kepala.

“Kenapa tidak?!” Sengit Ramhi

“Lelaki sejati tidak akan menjilat ludahnya!”



“Bah! Dasar prtimitif kolot! Jika kau masih mem-pertahankan kekolotan prinsip-prinsipmu di era global seperti ini, kau tidak akan survive! Kau akan binasa terlindas realitas!”



“ALLAH bersama orang-orang yang bertawakal kepada-NYA.”



Dengan muka kesal Ramhi meninggalkan Mahmud sambil bergumam,



“Semoga kau dapat petunjuk wahai manusia lugu yang kolot!”

***

Bumi terus berputar. Matahari terus terbit di timur dan tenggelam di barat. Tak pernah berhenti. Hari berganti hari. Setelah empat tahun kuliah Mahmud berhasil menyelesaikan kuliahnya di Fakultas dengan nilai mumtaz. Ia terpilih sebagai terbaik pertama di angkatannya. Selesai kuliah ia tidak pulang kampung, tapi mencoba bertahan di Cairo. Ia sangat ingin lanjut pascasarjana. Namun ia merasa perlu kemapanan ekonomi.

Suatu hari di awal musim dingin ia pergi ke kampus.ia kangen dengan kampus. Ia ingin menemui beberapa teman satu angkatannya yang belum lulus sambil refresing menyegarkan pikiran. Di pintu gerbang ia berpapasan dengan Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh. Mahmud menyalaminya dengan penuh takzim. “Mahmud, sudah dua minggu ini aku mencarimu. Nanti jam satu siang datanglah ke ruang kerjaku.”

Kata-kata Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh itu sangat menyejukkan hatinya. Jika ia dicari-cari seorang guru besar yang sangat mencintai ALLAH dan Rasul-Nya seperti beliau maka itu suatu keberkahan. Suatu tanda akan datangnya kebaikan-kebaikan.

“InsyaALLAH, Doktor.” Jawabnya singkat.

Tepat jam satu kurang tiga menit ia masuk ruang kerja Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh dengan terlebih dahulu mengucapkan salam.

“Wa’alaikumussalam. Duduklah Mahmud! Kau tepat waktu Mahmud. Aku senang.”



“Ada yang bisa saya bantu Doktor?”


“Begini Mahmud, aku mau bertanya padamu, mau tidak kamu mengamalkan ilmumu?”

“Tentu Doktor. Bukankah ilmu harus diamalkan?”

“Mau tidak kamu berjuang dan berdakwah?”

“Tentu doctor. Itu adalah kewajiban seorang muslim.”

“Rasanya aku tidak salah memanggil kamu. Begini, ada sebuah daerah di pelosok  elatan Mesir yang sangat membutuhkan seorang dai. Maukah kamu diutus ke sana. Sebagai utusan resmi Al Azhar. Semua biaya Al Azhar yang menanggung. Kau juga akan dapat gaji. Kau tidak selamanya di sana. Hanya dua tahun. Setelah itu kau akan aku usahakan dapat beasiswa untuk lanjut S2. bagaimana?”

Mendengar penjelasan Prof. Dr. Abdul aziz Abduh, hati Mahmud gerimis.

“Saya wakafkan diri saya untuk dakwah, Doktor. Untuk dakwah saya siap ditempatkan dan
diutus di mana saja.”

“Aku bangga mendengarnya, Anakku. Bersiap-siaplah. Surat-suratnya akan aku urus. Minggu depan kamu berangkat, insya ALLAH. Dan ingat kamu berangkat ke medan dakwah yang tidak ringan.”

“Mohon doanya, Doktor.”

“Hayyakallah ya Bunayya.”9

“Amin.”

* * *

Minggu berikutnya, setelah menempuh perjalanan panjang dari Cairo ke Asyyut dengan kereta dan disambung dengan angkot sampailah Mahmud ke sebuah desa. Turun dari angkot ia masih harus berjalan kaki setengah kilo untuk mencapai perkampungan di mana dia ditugaskan. Begitu sampai ia langsung rumah imam masjid.

Seorang petani memberi petunjuk,

“Datangilah rumah yang bercat hijau. Di halamannya ada seekor keledai sedang ditambat. Dari sini kira-kira seratus meter. Setelah kebun korma.”

Ia bergegas ke sana. Dengan mudah ia temukan rumah itu. Ia ketuk pintu. Seorang lelaki tua, berumur tujuh puluhan keluar. Ia berbincang dengannya penuh takzim, menjelaskan kedatangannya dan menyerahkan surat tugas. Lelaki tua itu mempersilakan masuk rumahnya, menyambutnya dengan penuh suka cita, “Alhamdulillah surat permohonan saya ke bagian dakwah Al Azhar dikabulkan. Saya sangat bahagia. Saya berharap kau betah di desa ini dan bisa jadi penerang di desa kami.”

“Kalau boleh tahu siapa nama Imam?”

“Ah, sebenarnya saya merasa tidak pantas menjadi imam. Bacaan Al-Quran saya masih belum benar. Karena tidak ada yang lain jadi terpaksa saya menjadi imam. Nama saya Raghib. Nanti ba'da shalat Maghrib kau akan kukenalkan pada jamaah masjid. Setelah itu kau akan kuajak berkunjung ke rumah para pemuka masyarakat desa ini. Mereka semua pasti akan senang dengan keberadaanmu di sini.”

“Semoga ALLAH memudahkan semuanya.”

Sejak hari itu mulailah perjuangan dakwah Mahmud benar-benar merasakan beban yang tidak ringan. Masyarakat di desa itu masih ada yang buta huruf. Masih ada yang belum bisa baca Al-Quran. Masih banyak yang belum mengerti ajaran Islam dengan benar.selama ada di desa itu, ia diangkat menjadi imam menggantikan Pak Raghib yang menjadi imam sementara. Ia menjadi rujukan, tempat bertanya masalah agama. Bahkan masalah sosial. Masyarakat begitu percaya padanya sebagai lulusan Al Azhar di Cairo. Anak-anak juga sangat lekat padanya. 

Mereka antusias belajar Al-Quran padanya. Seringkali Mahmud membuat acara yang sangat mengasyikan bagi mereka. Kematangannya ketika aktif di kepanduan sebelum masuk kuliah sangat berharga.

Genap satu tahun, Mahmud seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat desa itu. Pengajian umum yang ia buka di masjid setiap hari Jumat pagi dihadiri oleh ribuan orang. Tidak hanya masyarakat desa itu namun juga desa-desa sekitarnya.

Namun lazimnya sebuah dakwah, tidaklah mulus begitu saja. Sudah beberapa kali nyawanya terancam oleh mereka yang merasa keberadaan Mahmud sangat membahayakan mereka. Mereka sebuah mafia kecil yang secara diam-diam menanam ganja di tengah-tengah kebun mereka. Mereka adalah bagian dari jaringan pengaedar narkotika di kawasan Mesir Selatan. 

Ulah mereka belum terendus pihak kepolisian. Kehadiran Mahmud yang berpendidikan dianggap sangat membahayakan. Beberapa kali Mahmud hendak dilenyahkan namun gagal. Mafia kecil itu terus mencari cara membinasakan imam muda ini. Akhirnya mereka sepakat untuk menghabisi Mahmud dengan rekayasa dan fitnah.

“Begini, agaknya imam muda ini banyak disukai anak-anak gadis. Kita manfaatkan hal ini untuk membinasakannya. Kita pernah dengar dulu di Bani Israel ada seorang ahli ibadah yang namanya Barshisha. Dan ia hancur karena perempuan. Bagaimana kalau kita gunakan cara setan itu untuk membinasa- kan imam muda ini.” Seorang anggota mafia berambut keritingmengajukan usul.

“Boleh. Riilnya bagaimana?” Ketua mafia menyahut.

“Begini Bos,” Kata lelaki berambut keriting, “Saya telah amati kegiatan imam muda itu dua minggu penuh. Juga saya bertanya banyak hal tentangnya ke para penduduk. Imam muda itu punya pengajian rutin Tafsir Jalalin di masjid tiap hari malam Ahad. Tempatnya di masjid selatan desa. Dia pulang dan pergi tidak pernah sendirian. Jadi kalau kita gunakan kekerasan justru berbahaya.”

“Terus gimana membinasakan dia?” Sahut sang ketua tidak sabar.

“Begini Bos, kita fitnah dia. Penduduk desa ini paling anti dan paling murka terhadap orang yang mengotori anak gadisnya. Saya dapat informasi ada seorang anak gadis yang sangat suka apa saja asal dapat imam muda ini. Setahu saya, imam muda ini sampai di rumahnya dari pengajian Tafsir Jalalain jam setengah dua belas malam. Kita akan manfaatkan Sadia. Kita seolah membantu Sadia, namun Sadia harus ikut skenario kita. Dan harus menjaga rahasia. Begitu Bos.”

“Lha terus riil memanfaatkan Sadia itu gimana, Keriting?”

“Begini Bos, saat si imam muda itu pergi mengaji Tafsir Jalalain, diam-diam dengan cara yang tidak diketahui orang kita datangi rumah imam itu lewat belakang. Kita ajak Sadia ikut serta. Kita congkel pintu belakang, kita minta Sadia masuk dalam rumah imam itu. Sadia harus bersembunyi. Ketika imam itu nanti pulang dan tidur pulas. Sadia harus tidur di samping imam itu satu ranjang kalau perlu dengan pakaian yang tampak acak-acakan. Saat itulah kita grebek, kita kerahkan orang kampung. Pada saat kita grebek Sadia harus memeluk imam muda itu kuatkuat, menangis dan menjerit-jerit. Dengan demikian hancurlah imam muda itu. Ia akan dilempari batu seperti anjing kurap oleh seluruh penduduk kampung. Akan diusir.”
Sang ketua manggut-manggut mengerti.

“Apa Sadia mau..?

Pasti mau bos. Dia sudah masuk perngkap kita. Sekarang dia sudah ikut pakai ganja sebab kakaknya juga bagian dari kelompok kita.”

“Bagus. Segera jalankan rencanamu dengan matang. Ajak dan provokasi para pemuda yang tidak suka dengan imam sok suci itu!”

* * *

Sore itu Mahmud asyik membuat acara permainan dengan anak-anak di sebuah kebun korma. Tiba-tiba seorang anak berteriak,

“Imam… imam itu ada ular!”

Mahmud langsung melihat ke arah yang ditunjuk si anak. Ya ada seekor ular cobra yang sangat berbahaya. Ia minta anak-anak menyingkir. Di kepanduan ia pernah belajar mengatasi ular. Sepuluh menit kemudian Mahmud telah berhasil meringkus ular itu dengan kain yang ia gunakan untuk tikar.



“Jangan takut ini ularnya sudah tertangkap.”


Anak-anak gembira.

“Imam memang hebat. Di sini belum pernah ada seorang pun yang berani menangkap ular cobra. Kepala desa yang dulu meninggal katanya karena dipatuk ular cobra.” Kata anak yang tadi berteriak.

Sore itu kabar imam muda menangkap ular cobra langsung tersiar ke seluruh penjuru desa. Seorang petani separo baya mendatangi Mahmud dan menasihati,

“Imam, jangan main-main dengan cobra. Lebih baik langsung di bunuh saja!”

“Saya tidak main-main kok, Paman. Ular ini sengaja tidak saya bunuh sebab besok pagi saya ingin membawanya ke dokter untuk diambil serumnya. Serum itu bisa jadi obat jika kelak ada penduduk desa ini digigit ular berbisa ini. Jangan kuatir, Paman.”

Setelah faham petani itu tersenyum dan minta diri. Mahmud memasukkan ular itu ke dalam kantong goni lalu mengikatnya dan meletakannya di ruang belakang rumahnya.

Setelah Maghrib, Mahmud membaca tafsir yang akan dia sampaikan untuk pengajian rutin. Ba'da Isya ia berangkat ke masjid selatan desa untuk menyampaikan pengajian.sementara kelompok mafia mulai menjalankan rencananya. Sebagian mereka sudah mampu menyebar fitnah dan meyakinkan sebagian penduduk desa bahwa si imam muda itu tak lain adalah seekor srigala busuk. Imam muda itu telah mengotori desa dan menodai kesucian gadis desa, di antara korban yang sedang dalam cengkeramannya adalah Sadia.

Sebagian yang lain ada yang menyebar desas-desus ke kalangan ibu-ibu. Mereka minta ibu-ibu melihat apa yang akan terjadi malam nanti. Malam nanti akan ketahuan siapa sebenarnya imam muda yang selama ini dipuji-puji itu.

Di sebuah rumah, Sadia telah siap dengan segala fitnahnya.

“Suratku tak pernah ditanggapinya. Malam ini imam sok suci itu akan tahu siapa Sadia. Dia akan tunduk di telapak kakiku.” Gumamnya.

Tepat pukul sepuluh Sadia dan lelaki berambut keriting berhasil masuk rumah Mahmud lewat pintu belakang. Sadia berpakaian setengah telanjang. Ia benar-benar sudah kehilangan rasa malunya. Di luar rumah ketua mafia bersiaga penuh dengan beberapa anak buahnya. Beberapa anak buah yang lain bertugas membawa para pemuda pada saat yang tepat.

Tepat pukul sebelas Mahmud pulang diantar oleh seorang pemuda. Setelah pemuda itu pamit, Mahmud masuk rumah. Ia tidak masuk ke kamarnya tapi duduk di ruang tamu. Ia belum mengantuk. Ia ingin membaca Fiqhus Sunnah yang ditulis oleh Sayyid Sabiq.

Satu jam kemudian, terdengar teriakan yang sangat gaduh di luar rumahnya. Teriakan itu mencaci-maki dirinya. Pintu rumahnya digedor dengan sangat keras.

“Ayo seret imam pezina itu!”

“Telanjangi Mahmud serigala itu! Arak dia biar jadi pelajaran!”

Belum sempat ia beranjak dari tempat duduknya, pintu itu telah terbuka. Didobrak. Mahmud berdiri kaget. Kitab Fiqhus Sunnah masih ditangannya. Orang-orang masuk dengan marah. Yang paling depan adalah ketua mafia. Mata Mahmud beradu dengan matanya. Ketua mafia agak gentar, tidak seperti yang direncanakn. Tidak ada suara merengek atau tangis Sadia. Ke mana Sadia? Namun ia tidak kehabisan akal. Ia langsung menggertak.

“Di mana Sadia kau sembunyikan, Bangsat!”

Mahmud tidak gentar, “Siapa Sadia?”

“Jangan sok tidak tahu. Sadia yang kauzinai setiap malam!”

Mahmud kaget, “Apa zina? Aku mezinai Sadia? Astagh-firullah. Na’udzubillah. Jangan sembarangan kau bicara! Menuduh zina adalah kriminal!”

Jangan banyak bacot. Langsung seret saja pemuda ini. Sadia adalah korbannya ia telah menodai gadis lugu itu. Ayo seret dia!”

Para pemuda yang emosi langsung bergerak memegang tangan Mahmud. Mahmud melawan dengan menampar mereka. Terjadi pergulatan. Tiba-tiba terdengar teriakan keras, “Berhenti! Ada apa ini?”



Ternyata suara kepala desa. Di belakangnya ada beberapa orang polisi. Rupanya kepala desa mencium gerakan para pemuda. Ia ingin menegakan hukum, siapa pun yang salah harus diadili sesuai hukum, makanya ia mengundang polisi. Sebelum Mahmud angkat bicara, ketua mafia angkat bicara dan meluncurkan tuduhan dan fitnahnya. Panjang lebar, dan dengan suara sangat meyakinkan,

“Beberapa kali aku melihat dia dan Sadia berbuat mesum!”

Mahmud emosi, “Dia bohong! Dia memfitnah! Ini fitnah!”

“Aku bahkan pernah melihat tengah malam Sadia menutup jendela kamar rumah ini, dalam keadaan telanjang dada dan di belakangnya si jahannam ini mendekapnya mesra!” cerocos ketua mafia.

“Sudah diam kamu Bandot! Tuduhan kamu harus kamu buktikan!” Bentak kepala desa.

“Akan aku buktikan! Aku yakin Sadia sedang terlelap di salah satu ruangan di rumah ini setelah dibius srigala ini! Ayo kita geledah!” Sahut ketua mafia mantap.

Ia bergerak. Beberapa orang bergerak. Pak kepala desa, dua polisi dan Mahmud mengikuti. Mahmud hanya pasrah kepada ALLAH. Kamar pertama digeledah, tak ada apa-apa. Kamar kedua juga. Kamar ketiga, yang tak lain kamar tidur Mahmud digeledah. Dengan sangat teliti. Almari dibuka. Kolong ranjang diteliti tak ada apa-apa. Wajah ketua mafia merah. Ia marah. Dalam hati ia mendesis, “Di mana kau Sadia? Kurang ajar kamu! Kamu telah mempermainkanku. Awas aku cincang kamu!”

Ketua mafia itu lalu mengajak menggeledah ke ruang belakang yang tak lain adalah dapur dan kamar mandi. Ruang belakng itu gelap. Beberapa orang menyorotkan senternya. Sinar senter itu menerangi ruangan. Di atas lantai orang-orang terkesima dengan pemandangan yang mereka lihat. Dua orang anak manusia lain jenis diam tak bergerak dalam posisi yang sangat memalukan.

Tubuh keduanya telanjang.

“Itu Sadia!” teriak seorang pemuda.

“Lha itu yang menidihnya siapa?” Tanya seseorang. Kepala mafia pucat.

“Itu si kerempeng. Anak bejat dari kampung utara!” Polisi melihat keduanya.

“Inna lillahi wa inna ilahi raaji’un. Keduanya sudah tidak bernyawa. Ada gigitan ular di kaki kedua manusia jalang ini. Kata polisi itu. Kepala desa langsung berkata pada ketua mafia, dan ia tidak tahu kalau yang ia ajak bicara adalah seorang ketua pengedar narkotika,

“Hai Bandot, berarti kau salah lihat. Yang berbuat mesum bersama sadia itu bukan Mahmud. Tapi si pemuda keriting ini. Saya tahu persis siapa Mahmud. Sejak dia datang sampai sekarang saya tahu persis akhlaknya. Memang rumah ini sering ditinggalkannya kalau malam untuk mengisi pengajian. Jadi sering kosong. Kelihatannya itu dimanfaatkan dua manusia itu. Karena mereka merasa aman melakukannya di sini. Tapi ALLAH tidak ingin membiarkan hal ini berlanjut terus.”

“Ya aku bersaksi Mahmud bersih dari tuduhan keji itu. Kenyataan di depan mata kita telah membuktikannya. Memang sejak satu minggu ini ada yang menyebar desas-desus tidak sedap tentang imam muda kita. Dan malam ini semuanya jelas.” Sahut seorang ibu-ibu yang ikut menyaksikan kejadian itu.

Dalam hati Mahmud bersyukur telah selamat dari fitnah. Ia merasa ada makar yang ingin mencelakainya di balik kejadian menggegerkan desa malam ini, dan ALLAH-lah yang menggagalkan.

Penduduk desa, juga Mahmud tak ada yang tahu, apa yang dilakukan Sadia dan Pemuda Keriting setelah masuk rumah Mahmud. Setan telah membakar nafsu mereka berdua di tempat gelap itu karena pengaruh ganja yang mereka hisap. Tangan pemuda itu tidak sadar membuka ikatan karung goni yang berisi ular saat sedang berasyik masyuk. Saat jantung berdegup kencang. Tanpa mereka sadari ular itu memaruk kaki mereka.

Jantung terus berdegup. Racun mematikan pun menyebar dengan cepat. Dan tamatlah riwayat mereka berdua. Makar yang mereka buat membinasakan mereka sendiri.

* * *
Peristiwa malam itu berbuntut panjang. Kakak Sadia yang juga anggota mafia kecil itu tidak bisa teerima atas kematian adiknya. Ia tahu persis adiknya adalah korban dari makar busuk ketua mafia. Diam-diam ia mendatangi kantor polisi dan membocorkan rahasia yang selama ini ia pendam. Ia juga mendatangi kepala desa, dan membocorkan semua yang ia tahu, termasuk makar fitnah untuk membinasakan sang imam muda, Mahmud, pada malam itu.

Polisi bergerak cepat. Seluruh anggota mafia di desa itu dan desa-desa sekitarnya di tangkap. Bahkan jaringan yang lebih besar di Mesir selatan segera digulung. Kepala desa mengum-pulkan warganya dan menjelaskan lebih detil tentang makar fitnah itu. Penduduk desa semakin mencintai Mahmud.

Tak terasa sudah sembilan belas bulan Mahmud berdakwah di desa itu. Sudah cukup banyak perubahan. Anak-anak sudah fasih baca Al Quran. Para orang tua sudah memahami isi aqidah Thahawiyyah, Fiqh Sunnah, dan inti risalah Islam. Sebuah balai serba guna didirikan di samping masjid.

Tiga bulan lagi tugasnya usai. Ia ingin kembali ke Cairo dan melanjutkan S2. Ia hendak menyampaikan hal itu pada kepala desa, agar tidak mengejutkan kepergiannya. Usai shalat Maghrib ia membicarakn hal itu pada kepala desa dan beberapa pengurus masjid, termasuk Pak Raghib yang sangat dihormati. Apa yang ia sampaikan ditanggapi dengan keharuan dan tetesan airmata. Kepala desa berkata dengan mata berkaca,

“Kami sangat mencintaimu Nak Mahmud. Kami sebenarnya ingin Nak Mahmud tinggal di sini. Atau lebih lama di sini. Namun semua kembali pada Nak Mahmud. Kami tidak bisa dan tidak berhak memaksa. Namun ada satu permintaan kami yang kami sangat berharap Nak Mahmud tidak menolaknya.”

“Apa itu?” Tanya Mahmud.

“Bicaralah Paman Raghib.”

“Begini Nak Mahmud. Saya punya cucu. Satu-satunya. Tidak cucu langsung, tapi cucu kakak saya yang telah meninggal karena kecelakaan, setengah tahun sebelum kau datang kemari.

Akulah satu-satunya keluarganya. Aku sudah tua. Sejak kecil ia hidup di desa ini. Sejak kecil. Meski ayah-ibunya tinggal di kota Thanta, ia tinggal di sini. Bersama kami. Karena ia memang dilahirkan di sini. Setiap dibawa ke Thanta ia sakit. Tapi jika dibawa ke sini ia sembuh. Boleh dikata cucu saya itu, menurut pengakuan orang-orang di desa ini adalah gadis tercantik dan terpandai. Dialah satu-satunya gadis yang menghafal Al-Quran. Menghafal Al-Quran dengan kemauannya sendiri. Cucu saya ini juga bisa dikatakan orang paling kaya di desa ini. Selain mewarisi kekayaan ayahnya di Thanta, ia juga mewarisi kekayaankakeknya, yaitu kakak saya. Tanggung jawab saya adalah menikahkannya dengan pemuda yang saleh, bertakwa, berilmu dan bertanggung jawab. Saya merasa kau sangat tepat. Saya berani menjamin ia gadis yang salehah. Sekarang sedang kuliah di Al azhar Banat, Cairo, tahun kedua. Ini permohonan saya. Dan saya berharap tidak kamu tolak. Saya akan sangat merasa aman jika dia dalam naungan lelaki saleh sepertimu.”

Perkataan Pak Raghib membuatnya kaget dan terkesima. Lidahnya susah digerakkan. Ia diam. Semua yang ada dalam pembicaraan itu diam. Suasana hening sesaat. Akhirnya ia berhasil menggerakan lidah dan bibirnya,

“Sa… saya akan istikharah dulu.”

* * *

Tiga kali ia istikharah. Setiap kali istikharah ia tidur. Dan dalam tidur selalu bermimpi membaca Al Quran surat Ar Ruum ayat 21. Ia sangat yakin, itu ilham agar ia segera menikah. Akhirnya ia menyampaikan jawaban ‘menerima tawaran itu’ pada Pak Raghib. Jawaban Mahmud menerbitkan airmata haru lelaki itu.

Minggu berikutnya diadakan acara ta’aruf antara Mahmud dan cucu Pak Raghib itu. Acara dihadiri kepala desa. Mahmud hanya bisa menunduk dengan hati dan jantung berdebar-debar. Darah mudanya meluap. Ia penasaran. Seperti apa rupa gadis yang katanya paling pilihan di desa ini. Istri Pak Raghib mengeluarkan minuman dan makanan. Gadis itu tidak ikut keluar. Setelah berbincang-bincang cukup lama. Pak Raghib berkata,

“Ya Hafshah keluarlah!”



Tak lama kemudian seorang gadis berjilbab panjang putih bersih keluar. Iaduduk di samping istri Pak Raghib.


“Nak Mahmud, ini Hafshah cucuku.” Kata Pak Raghib.

Mahmud mengangkat muka ke arah wajah gadis itu. Si gadis juga melakukan hal yang sama.
Dan….

Subhanallah! Ia teringat peristiwa dua tahun yang lalu. Peristiwa di musim semi, saat ia berjualan buku. Gadis ini bukankah? Ya, persis! Mata yang bundar dan bening. muka yang bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya. Si gadis agaknya juga kaget. Cukup lama mereka berpandangan.

“Agak aneh. Apa kalian pernah saling kenal?” Pak Raghib menangkap gelagat. Gadis itudiam. Mahmud mencoba mengingat kejadian itu. Ia bergumam,

“Masjid El Fath, Ramsis. Kaset Syaikh Sya’rawi berjudul: Al Mar’ah Ash-shalihah.”
Gadis itu tiba-tiba menyambung lirih,

“Ya kapten, lau samah, bikam syarith dza?

E….sab’ah junaihat!

Lu ya anisah, hadza jaded.

Arba’ah mumkin?

Musyi mumkin, afwan.

Khamsah la azid.

Masyi.”

Mahmud terhenyak, gadis itu masih ingat dialog tawar menawar kaset itu dua tahun yang lalu. Sebelum Mahmud bicara gadis itu menjelaskan dengan detail pertemuan dua tahun yang lalu. Pertemuan yang setelah itu tidak bertemu lagi kecuali saat ta’aruf itu.

Paman Raghib dan semua yang hadir mafhum. Ia lalu membahas lebih dalam. Hafshah dan Mahmud sama-sama rida. Hari pernikahan pun ditentukan.

* * *

Musim semi yang penuh barakah. Pagi yang indah. Langit yang cerah. Orang-orang menatap hari dengan penuh gairah. Begitu juga Hafshah dan Mahmud. Pagi hari Jumat itu berlangsung akad nikah di desa bersuka cita. Anak-anak mendendangkan lagu kebahagiaan dan cinta. Rumah tua yang ditempati Mahmud ternyata adalah rumah tempat Hafshah dulu dilahirkan. Rumah itu telah direnovasi. Dicat kembali. Kamar pengantin dihias indah dan wangi. Malam usai shalat Isya Mahmud masuk kamar. Sang isteri telah menanti. Kali ini tidak berjilbab. Mahmud terhenyak ketika melihat kalung permata yang dipakai Hafshah. Kalung emas permata dengan bandul permata mulia berwarna merah tua yang sangat indah. Ia memandangi kalung itu lama sekali.

Hafshah heran dan bertnya,

“Ada apa denganmu, Suamiku? Kenapa wajahmu pucat dan matamu berkaca-kacaa saat kau melihat kalung permata ini?”

Mahmud berkaca-kaca, dan berkata,

“Jika mataku tidak silap. Aku pernah melihat kalung mutiara ini dua tahun yang lalu. Pemiliknya mengatakan kalung ini dibeli dari Madrid untuk hadiah putri semata wayangnya yang baru hafal Al-Quran.”

Mendengar hal itu Hafshah terisak. Ia teringat cerita ayahnya almarhum. Terbata- bata ia berkata,” Jadi kaukah yang menemukan tas hitam lusuh di kamar kecil masjid Al Fath itu? Kaukah yang menolak pemberian tanda terima kasih dari pemiliknya itu?”

Mahmud kaget, “Kau tahu peristiwa itu? Dari mana kau tahu peristiwa itu?”

“Kau ingat nama Ragab Ali Ridhwan Hamid Ghazali.”

“Ya. Itu pemilik tas itu?”

“Beliau adalah ayahku.”

“Ayahmu?”

“Ya.”

“Subhanallah. Ketika namamu disebut dalam akad nikah Hafshah binti Ragab Ali Ridhwan Hamid Ghazali. Aku tidak pernah berpikiran nama pemilik tas hitam lusuh itu. Sebab betapa banyak nama Ragab di Mesir ini.”

“Hari itu aku datang ke masjid El Fath bersama ayah. Aku asyik melihat buku-buku. Ayah yang bertanya ke pengurus masjid. Ketika ayah bilang tasnya telah ditemukan masih utuh aku sangat bahagia. Sementara ayah menunggu di masjid bakda shalat Isya, aku memilih langsung istirahat ke hotel. Setengah sepuluh ayah masuk hotel sambil menangis. Aku bertanya pada ayah ada apa. Ayah menjawab, ‘Yang menemukan tas ayah yang sangat berharga ini adalah seorang pemuda yang sangat menjaga keikhlasan dan sangat menjaga amanah. Aku akan merasa bahgia jika ALLAH berkenan menjodohkan dirimu dengannya.’ Suamiku, apakah kautahu apa yang kulakukan saat mendengar perkataan ayah itu?”

“Aku tak tahu? Apa yang kaulakukan?”

“Dalam hati aku berdoa kepada Allah, jika pemuda itu memang benar-benar saleh dan menjaga amanah semoga kelak ia benar-benar menjadi jodohku. Dan ALLAHU AKBAR! ALLAH mengabulkan doaku.”

“Allahu akbar. Saat itu aku menolak amplop pemberian ayahmu. Dan ternyata ALLAH menyiapkan yang lebih berharga dari itu.”

“Ya. Aku dan segala yang kumiliki sekarang ada dalam kuasamu.”

“Aku merasa musim semi ini benar-benar penuh barakah.”

Hafshah mendekat dan meletakkan kepalanya dalam dada Mahmud. Sesaat, suasana haru dan indah  memenuhi kamar pengantin. Kedua makhluk ALLAH itu larut dalam rasa syukur yang dalam dan panjang.

THE-END

*** NB: 
1 Kapten, maaf, berapa harga kaset ini?
2 Tujuh pound.
3 Mahal sekali.
4 Tidak nona, ini baru.
5 Empat, mungkin.
6 Tidak mungkin, afwan.
7 Lima (pound), tak akan aku tambah.
8 Okay