Kadar kekecewaan itu akan senantiasa
berbanding lurus dengan tingkat pengharapan kita pada manusia. Semakin
berharap, maka semakin besar kekecewaan yang akan kita tuai.
Pengharapan pada manusia, seperti bola salju
yang siap pecah pada suatu ketika. Seperti bom waktu yang siap meledak pada
suatu masa. Ketika pecah dan meledak itulah, artinya akumulasi kekecewaan itu
mencapai titik jenuhnya.
Lantas, tak bolehkah kita berharap?
Siapa bilang?!
Harapan adalah bahan bakar untuk mengapai
wujud nyata dari catatan asa itu sendiri, tapi dengan satu catatan : selama
kita hanya berharap pada-Nya, pada Dzat yang pada-Nya segenap harap itu
bersumber.
Satu hal terindah yang ingin aku ceritakan
adalah, betapa indahnya ketika segalanya menjadi tawar adanya. Tanpa ada
konfigurasi lagi. Cukuplah Dia saja yang akan menetapkan tentang bagaimana
akhirnya. Tanpa ada harap pada manusia!
Meski kadang hal-hal ekstrem itu mesti
ditempuh. Bukankah juga Rasulullaah Shallallahu 'alayhi wa sallam dan para
sahabat memberikan perumpamaan yang 'ekstrem' pada kita? (Extreme di sini bukan
berarti ekslusif apalagi keras!). Seperti halnya sahabat yang telat sholat
berjemaah, lalu meng-'iqob dirinya dengan mendermakan seluruh kekayaannya,
sesuatu yang secara logika jaman kini amat sulit di terima. Sebab kita, masih
jauh. Tapi, entry point yang sedang kumaksudkan di sini adalah, bahwa
perumpamaan atau kisah yang dicontohkan RAsulullaah Shallallahu 'alayhi wa
sallam dan para sahabat ada pada margin tertinggi.
0 comments:
Post a Comment