Thursday, November 8, 2012

tarbiyah di ujung senja ☂


“Seperti angin membadai. kau tak melihatnya. kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Ia ditakdirkan menjadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.
Seperti banjir menderas. kau tak kuasa mencegahnya. kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutan. Setelah itu kembali tenang : seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah. Ia ditakdirkan menjadi makna paling santun yang menyimpan kekuatan besar.
Seperti api menyala-nyala. kau tak kuat melawannya. kau hanya bisa menari disekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua menjadi abu. Semua jadi tiada.”

(by : Ustd. Anis Matta,)


Meski ini bukanlah sebuah kesalahan! Karena Na tidak pernah menghendaki kehadirannya. Na tidak pernah meminta kedatangannya. Bahkan, jika boleh, Na justru ingin rasa ini enyah saja! Tidak berlama-lama mendekam. Tapi, memang tidak pernah patut untuk dipersalahkan! Dan, jika memang Na persalahkan, sungguh, Na telah melawan arus gradient fitrah itu sendiri. Dan jika masih tetap dipersalahkan, itu artinya menisbikan anugrah yang ALLAH beri... Na’udzubillaah… 

Jika pun ingin dipersalahkan, maka yang harus Na persalahkan adalah tindakan Na! Saat kepanikan, dan saat logika tidak lagi berada di posisinya, saat itu pula tindak menjadi di luar kendali. Memang sangat rumit. Memang tak terjamah logika. Tak pernah terpikir, semua ini akan terjadi. Tapi, ia terjadi. Telah terjadi! Memang tidak salah! Sama sekali tidak salah. Tapi, Na sering kali merasa sangat menyesal, dan bahkan terkadang, terasa mengotori wasilah ini dengan tindakan yang bahkan Na tidak habis pikir, bagaimana bisa. Bagaimana bisa? Sepertinya, tidak ada lagi unsur logika yang bermain di sana. Ketika rasa menjadi otak! Bahkan, Na sering berpikir dengan logika sadar Na, bahwa ini semua tidak masuk akal bagi Na! Astaghfirullaah… astaghfirullaah… 

Tapi, itulah hikmah sebuah kesalahan—jika ia memang pantas dihukumi sebuah kesalahan—barang kali. Bahwa dengannya kita belajar untuk menjadi benar. Dengan kesalahan kita belajar memperbaikinya. Bukan untuk menjadi yang sempurna, tapi hanya untuk menjadi lebih baik. Itu saja... 

Ada banyak hikmah! Sungguh banyak hikmah dan pelajarannya. Maka ijinkan Na untuk memetik hikmahnya itu dan menuai sebanyak-banyaknya pelajaran dari sini. Na tahu, bahwa tiadalah yang dimiliki manusia dhaif ini melainkan hanya keterbatasan-keterbatasan dan kekurangan-kekurangan di sana-sini! Hanya itu. Tak lebih. Tapi, Na menginginkan gerak fototrof…gerak yang menuju cahaya! Bukan fotofob, yang justru menjauhi cahaya! Na tidak ingin semua ini malah menjadikan Na semakin terpuruk dan terperosok jauh ke jurang-jurang kesalahan. Tapi, Na hanya ingin dengannya, menjadi sebuah pemantik, agar bisa lebih baik lagi! Sebab, kadang kita butuh terjatuh dulu, agar bisa bangkit lebih tinggi! Dan yang terpenting, agar lebih berhati-hati dengan segala tindak yang telah, sedang dan akan Na lakukan! Bahwa harus ada rem iman, harus ada wara’, kehati-hatian tingkat tinggi itu, harus ada juga logika yang menyertainya. Tidak luapan rasa semata yang telah dengan pongahnya mengadali sang logika. Sebab jua, taqwa itu adalah kehati-hatian yang megatinggi! Bahwa ketika kita tahu, bahwa jalan ini memang benar-benar penuh dengan duri. Maka, memang tiadalah yang dibutuhkan melainkan kehati-hatian! 

Memang begitulah adanya kita. Begitulah kedhaifan kita bicara. Ketika jauh dari lubuk hati kita menginginkan sesuatu yang idealita, sehingga benteng-benteng pertahanannya yang bernama keimanan akan berusaha untuk senantiasa siaga. Namun, kadang realita berbicara berbeda. Ia selalu punya residu! Ia selalu punya pengotor. Sulitnya adalah seperti sulitnya kita menemukan adanya unsur-unsur logam mulia. Karena selainnya, kita dibekali-NYA jua dengan potensi fujur itu. Perkara siapa yang menang, maka sungguh di sinilah kadar iman kita menjadi penakarnya, barang kali. 

Tapi, Na percaya, setiap orang berhak untuk bermetamarfosis, seburuk apa pun ia di masa lalunya. Seburuk apapun sesuatu yang telah ia kerjakan. Bukankah DIA senantiasa membentangkan seluas-luasnya pintu keampunan-NYA? Maka, inilah saatnya untuk bermetamarfosis…menjadi lebih baik lagi, insyaALLAH… 

Jika semua akan menjadi masa lalu pada akhirnya, maka biarlah segalanya menjadi milik masa lalu. Toh, siapapun dengan kendaraan apapun, secanggih dan mutakhir apapun, takkan pernah ada yang sanggup menjemput masa lalu. Hanya saja, Na tidak mau dua kali terperosok ke lubang yang sama. Na ingin, membuka lembaran baru dengan semangat baru… Barang kali, ini juga hadiah dari ALLAH…di akhir tahun dan menjelang awal tahun hijrah kali ini. Semangattt baruuu! Be a new of me!! 

Na tahu, kita tidak akan pernah dapat melihat jendela hari depan di masa ini. Kita tidak akan dapat menebak apa yang akan terjadi di hari esok. Yang bisa kita lakukan adalah, menyerahkan segala urusan ini kepada ALLAH. ALLAH-lah yang memiliki hak Maha veto untuk menetapkan segala apa yang akan terjadi pada diri kita. SKenario terindah dari-NYA. Memang! Tiadalah, selain benar-benar menyerahkan sepenuhnya urusan ini pada ALLAH. DIA Maha Mengetahui, apa-apa yang terbaik untuk diri kita. Untuk diri ini. 

Satu dari sekian banyak plajaran yang Na tuai kali ini adalah…tentang korelatif linearnya antara tindak nyata dengan kedekatan kita dengan-NYA. IA sungguh adalah sebuah korelatif megalinear. Dan sungguh, memang tiadalah yang lebih tinggi dari pada ridha-NYA, meski diri ini sering lengah, sering lalai. 

"Jagalah ALLAH maka IA akan menjagamu; jagalah ALLAH niscaya engkau akan mendapati-NYA bersamamu. Bila engkau memohon sesuatu, mohonlah kepada-NYA; bila engkau meminta pertolongan, minta tolonglah pada ALLAH…” (HR. At Tarmidzi).

“Jagalah ALLAH, niscaya engkau akan bersama-NYA. Kenalilah ALLAH di waktu lapang, niscaya IA akan mengenalimu di waktu susah. Ketahuilah bahwa segala perbuatan salahmu belum tentu mencelakaimu dan musibah yang menimpamu belum tentu akibat kesalahanmu. Ketahuilah bahwa KEMENANGAN BESERTA KESABARAN, KEBAHAGIAAN BESERTA KEDUKAAN dan SETIAP KESULITAN ADA KEMUDAHAN!”

0 comments:

Post a Comment