Thursday, November 29, 2012

✿✿ ishbir ✿✿



Mari kita bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau
cinta Qais dan Laila yang membuat mereka ‘majnun’, lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak berbalas.

Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah jambu di sana. Hanya ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung: "O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap...Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati"

Mari kita ikut berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri.

Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai di sana. “Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain,” kata Rumi, “sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain.” Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.

Kalau cinta berawal dan berakhir pada ALLAH, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-NYA, pengejewantahan ibadah hati yang paling hakiki: selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu kita pada posisi kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-NYA. Sebab di sini kita justru melakukan pekerjaan besar dan agung: mencintai.

Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang terjadi sesungguhnya hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang.
Selama kita memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pencinta sejati selamanya hanya bertanya: “apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.

Jadi, kita hanyalah patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita
 


By : Ustd. Anis Matta


Sejujurnya, Na suka tulisan ini (dan seabrek karya Ustadz Anis Matta lainnya.Na memang mengagumi bahasa beliau. Hee). Tapi, khususnya yang ini, Na sukaaa bangeett. Kalo ada fasilitas "like" sampe seratus jempol, maka keseratusnya akan Na hadiahkan untuk tulisan ini. Heuu... Sebenarnya sungguh tak ingin ber-melankolik ria. Cukuplah ia-nya hanya menjadi masa lalu. Ya, karena itu semua masa lalu.

Kata orang-orang, ini sesuatu yang time dependent bukan consentration dependent. Sebab, waktulah yang menjadi obat mujarab atas itu semua. Akan tetapi, berbilang tahun berlalu, agaknya penantian mengalami perpanjangan sehingga bleedingtime itu ternyata masih berlangsung. Konyol memang, masih membahasakan ini. Tapi, Na tak bisa mencegah ingatan ini sekeras apapun Na berusaha (biar ajah, ntar kan juga lupa sendiri. Hehehe... apasih!).

Meski masih tersisa kesedihan dan ternyata masih saja ada aqous membasahi seluruh elemen iris, pupil dan retina (ndak papa, itu kan buat ngebersihin mata. Apalagi karena debu dan polusi. Halaaahhh... lagilagi apasih!), tanpa bisa terbendungkan, tapi Na sungguh tak pernah menyesal atas pilihan hidup yang telah DIA pilihkan untuk Na. Ini belumlah apa-apa.

Begitulah. Ini mungkin sudah berkali-kali Na jelaskan pada diriku sendiri, bahwa suatu saat Na pasti akan menemukan jawaban, mengapa ALLAH pilihkan jalan yang begini, bukan begitu, bukan seperti ingin Na semata. Dan suatu saat, akan ada masa dimana kita meng-iyakan dan mengangguk-angguk tentang mengapa ALLAH menetapkan sesuatu atas diri kita.

Dan hari ini, Na bersyukur, atas ketetapan-NYA yang dulu terbilang "pahit". Tapi kini, Na mengerti dan bahkan bersyukur, atas ketetapan-NYA itu, meski tak bersesuaian dengan ingin Na. Karena, selalu ada hikmah di setiap kejadian.

Hayoo bersemangat wahai diriku! Untuk berbenah diri, menjadi lebih baik lagi. Kesalahan yang sama, tak boleh berulang. Cukup ia sebagai pelajaran saja. Selama masih 'membersamai' masa lalu, maka selama itu pula kita tak pernah bergerak maju!

Tetap semangat!
Mannaja
h!

0 comments:

Post a Comment